Desa Sukawana berjarak kurang lebih 80 KM dari pusat Kota Denpasar, Berada di wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Tidak terlalu sulit untuk menemukan desa ini jika memakai jurusan kintamani-singaraja. Sebagian besar wilayah desa ini digunanakan untuk pertanian. Peternakan ayam petelor juga terkenal disini serta yang paling terkenal adalah Desa Sukawana merupakan pusat anjing kintamani. Tetapi keunikan yang paling mendalam yang membedakan desa ini dengan desa di Bali pada umumnya adalah tentang keagamaannya.
Desa Sukawana adalah desa tua atau desa Bali Mula yang semua penduduknya adalah keturunan Bali Aga. Sukawana berarti suka di hutan. Karena konon orang Sukawana dahulu hidup di hutan. Salah satu banjar di Desa Sukawana bernama Kutadalem, yang secara etimologi berarti kuta berarti kota dan dalem berarti istana, jadi Kutadalem inilah yang dipercaya sebagai ibu kota Kerajaan Bali Dwipa dulu sebelum dipindahkan oleh Raja Jaya Pangus ke Balingkang.
Melihat sejarahnya Sukawana yang dahulu merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa maka dapat dicermati bahwa sebenarnya terdapat Pura-Pura Kerajaan Bali Mula di Sukawana, disamping adanya pura kahyangan tiga, dan pura leluhur. Contohnya adalah Pura Puncak Penulisan atau Pura Bukit Panarajon atau Pura Tegeh Kahirupan yang merupakan pura tertua di Bali yang disungsung (dipuja) bukan saja oleh masyarakat Desa Sukawana tetapi seluruh masyarakat Bali, dan ada pula Pura Utus yang selalu ramai oleh para pemuja dan pengempon Pura tersebut.
Selain Pura- Pura tersebut terdapat Kahyangan Tiga yakni Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem yang juga wajib dilakukan Pujawali oleh Masyarakat Desa Sukawana. Selain Pura Kahyang Tiga Juga terdapat Pura Subak yang terdapat di setiap Subak di wilayah Desa Sukawana. Untuk Keluarga Besar suatu keturunan terdapat Pura Dadya, sedangkan Untuk pekarangan rumah terdapat Sanggah Kemulan yang berada di setiap pekarangan rumah penduduk. Oleh karena, masyarakat sukawana tidak mengenal sistem kasta maka tidak terdapat Pura Kerajaan bagi orang – orang berkasta.
Pura-Pura tersebut wajib dilakukan pujawali oleh pengemponnya (penyungsung, pemuja). Dalam hal ini masyarakat Bali Aga Desa Sukawana sebagai pengempon wajib melakukan pujawali sesuai waktu yang telah ditentukan. Sehingga masyarakat Bali Aga sendiri melakukan prosesi keagamaannya dengan mengikuti tradisi leluhur yang ada dan petunjuk pemimpin agama Di Desa Sukawana yang disebut dengan Jero Kubayan.
Tinjauan Umum Tentang Hindu Bali dan Bali Aga
Hindu bali adalah agama hindu yang ada di Bali. Hindu di Bali adalah agama hindu yang telah berkembang sesuai dengan ajaran yang diberikan dari waktu ke waktu oleh para Mpu atau Rsi pada zaman dahulu. Sebelum kedatangan para rsi tersebut sebenarnya telah ada kepercayaan orang bali asli pada saat itu yang disebut dengan waisnawa yang mirip dengan ajaran Siwa-Budha. Sedangkan untuk sebutan Bali pada saat sebelum kedatangan majapahit disebut dengan walidwipa, Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata “Walidwipa“. Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Untuk Orang Bali sendiri istilah Bali Aga atau Bali Mula dikenal pertama kali sejak adanya ekspedisi Rsi Markendeya ke Bali. Dalam Lontar Markandeya Purana disebutkan bahwa Rsi Markandeya yang ingin membuka hutan di Bali dengan mengajak para pengikutnya dari jawa. Bali Aga atau Bali mula adalah sebutan untuk orang asli bali yang sudah ada sebelum kedatangan orang dari luar bali (majapahit). Setelah masuknya majapahit dimana Kerajaan Bali Dwipa dapat dikalahkan maka Bali Aga lari ke pegunungan. Dengan demikian, kemudian orang bali dibedakan menjadi 2 yaitu orang bali asli (Bali Aga) dan orang bali keturunan majapahit.
Dalam Prasasti Sukawana A1 tercerminkan bahwa pada zaman bali dwipa di bidang agama, dipengaruhi oleh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih yang terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu bali dwipa hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak.
Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu majapahit tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu dari majapahit. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata ( Mirip Siwa–Buddha) sebagai pembantu raja.
Perkembangan Hindu Bali Dan Bali Aga Di Bali
Perkembangan hindu bali sangat erat kaitannya dengan masuknya kerajaan majapahit ke Bali. Prasasti Blanjong merupakan prasasti setelah kedatangan Rsi Markadeya datang ke Bali, dalam prasasti ini dikemukan bahwa bali dwipa diperintah oleh raja Khesari Warmadewa yang berstana di Singhadwala. Raja Khesari Warmadewa juga disebut dengan raja Ugrasena. (915-945 M), setelah meninggal dan dimandikan dengan air madatu raja Ugrasena digantikan oleh raja Jayasingha Warmadewa. Raja Jayasingha Warmadewa digantikan oleh Raja Jayasadhu Warmadewa (975 M – 983 M), setelah itu wafat digantikan oleh seorang Ratu yang bernama Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi (983 M – 989 M). Kemudian digantikan oleh Dharmodayana (989 M – 1011 M) yang disebut juga Raja Udayana. Raja Udayana menikah dengan Gunapriayadharmapatni alias mahendradatta dari kerajaan Medang Kemulan jawa timur yang kemudian bergelar Sri Gunaprya Dharmmapatni dan dari perkawinannya menghasilkan 3 orang anak yaitu : Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.
Pada jaman pemerintahan Sri Gunaprya Dharmmapatni inilah terjadi perubahan besar-besaran terhadap segala aspek kehidupan di Bali baik di dalam sistem dan struktur pemerintahan, tata cara kemasyarakatan, maupun bidang lainnya termasuk bidang keagamaan atau lebih dikenal sekarang dengan Politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama). Jaman inilah yang kemudian dikenal dengan jaman perubahan, yang memberikan corak dan warna terhadap kehidupan masyarakat bali, yang menjadikan dari situasi pertentangan menjadi persatuan dan kesatuan. Sangat penting diketahui bahwa terjadinya konflik diakibatkan oleh adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Bali yang mayoritas adalah Bali Aga.
Ketika itu, penduduk Bali mengenal adanya sad paksa (yang oleh peneliti barat disebut dengan enam sekte) yaitu Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Bhayu dan Iswara, yang dalam penerapannya sering membuat keresahan di masyarakat. Akibat keanekaragaman paksa itu, keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Hal ini menjadi problema social yang terus-menerus yang sulit untuk diatasi oleh raja Sri Gunaprya Dharmmapatni. Untuk itu Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni mendatangkan Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirtha dari Jawa Timur yang telah terkenal keahliannya di segala bidang aspek kehidupan. Perlu diketahui Panca Tirtha adalah sebutan dari Panca Sanak keturunan Mpu Tanuhun yaitu yang sulung bernama Brahmana Pandhita, kedua Mpu Semeru alias Mpu Mahameru, yang ketiga Mpu Ghana, yang keempat adalah Mpu Kuturan alias Mpu Rajakreta, dan yang bungsu adalah Mpu Baradah alias Mpu Pradah. Mereka itu dikenal dengan Panca Pandita atau Panca Tirtha, yang juga digelari Panca Dewata.
Catur Sanak yang didatangkan dari Jawa Timur, didatangkan secara bertahap, yang kemudian mendampingi beliau dalam pemerintahan, yaitu : Yang Pertama adalah Mpu Semeru alias Mpu Mahameru yang memeluk ajaran Siwa., tiba di Bali pada jumat Kliwon, Wara Pujut, Hari Purnamaning Sasih Kawolu, Chandra Sangkala Jadma Siratmaya, Tahun Saka 921 (999 M). selanjutnya beliau berparahyangan di Besakih, yang kemudian mendirikan sebuah pura disebut ( Pura Ratu Pasek, sebagai Pedharman Warga Pasek ( Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dan Warga Pasek Kayu Selem. Mpu Ghana adalah penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin Kliwon Wara Kuningan, Pananggal Ping 7, tahun Saka 923 (tahun 1000 M), beliau kemudian berparahyangan di Pura Dasar Buwana Gelgel. Lalu Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha aliran Mahayana, yang tiba pada hari Rabu Kliwon, Wara Pahang, Madhuraksa, Tahun Saka 923 (tahun 1001 M), yang kemudian berparahyang di Padang (Pura Silayukti). Dan yang terakhir adalah Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada haro Kamis Umanis, wara Dunggulan, Sasih Kadasa, pananggal 1, tahun saka 971 (tahun 1049 M). beliau berparahyangan di Pura Lempuyang Madya.
Berdasarkan lontar Tatwa Siwa Purana kedatangan Para Mpu dari Catur Sanak ini memberi pengaruh yang sangat besar terhadap tatanan kehidupan keagaman di Bali. Oleh Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni, Mpu Kuturan diangkat menjadi Pakiran-kiran Ijro Makabehan yang berfungsi sebagai penasehat raja. Keadaan Kerajaan Bali pada saat itu adalah adanya kekacauan terhadap sad paksa yang ada di bali, untuk itu Mpu Kuturan melalukan penelitian terhadap masyarakat Bali Aga. Atas penelitiannya tersebut Mpu Kuturan mengadakan pasamuhan agung (rapat Besar) yang mengumpulkan tiga kelompok yaitu Mpu kuturan sendiri sebagai penganut aliran Budha Mahayana, tokoh-tokoh atau pimpinan masyarakat Bali Aga yang terdiri dari sad paksa yang dijakan satu kelompok, serta tokoh-tokoh agama aliran Siwa. Dalam pasamuhan agung tersebut disepakati 5 hal yaitu :
Dengan adanya keputusan dalam pasamuhan agung tersebut maka tentramlah masyarakat Bali Aga. Masyarakat Bali Aga menerima hasil tersebut dan mengubah cara keagamaan mereka dari aliran waisnawa menjadi Agama Siwa-Budha. Sebenarnya masih banyak Mpu yang berperan tentang perubahan keagamaan di Bali, Seperti Mpu Kamareka, Mpu Kul Putih, Mpu Ketek dan lainnya yang semuanya keturunan Sanak Sapta Rsi, tetapi catur sanak inilah yang paling terkenal di Bali.
Karena Airlangga menikah dengan putri Raja Dharmawangsa (raja jawa timur) dan kemudian menetap di Jawa Timur. Raja Marakata menggantikan Raja Udayana (Sri Gunaprya Dharmmapatni. Marakata diberi gelar Dharmawangsa Wardana Marakatta Pangkajasthana Uttunggadewa yang memerintah di Bali dari 1011 – 1022. Kemudian digantikan oleh anak Wungsu (1049 – 1077) yang memerintah selama 28 tahun dan dikatakan selama pemerintahannya keadaan negara aman tenteram. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan dan meninggal tahun 1077 dan di dharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring. Setelah Anak Wungsu meninggal, keadaan kerajaan di Bali tetap mengadakan hubungan dengan raja-raja di Jawa dan ada dikisahkan seorang raja Bali yang saat itu bernama Raja Bedahulu yang memiliki seorang patih yang sangat sakti yang bernama Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna.
Pada saat Bali diperintah oleh Raja Bedahulu, Majapahit berusaha untuk menguasai Bali. Tetapi Kryian Mahapatih Gajah Mada benar-benar tahu bahwa kerajaan Bali tidak mungkin bisa ditaklukkan apabila masih ada Ki Kebo Iwa yang menjaga Bali. Atas dasar itu, Mahapatih Gajah Mada mengunakan siasat licik untuk menjebak Ki Kebo Iwa. Mahapatih Gajah Mada mengundang Ki Kebo Iwa untuk datang ke Jawa untuk dinikahkan dengan Putri majapahit kala itu, tetapi setelah datang ternyata Ki Kebo Iwa dibunuh disana oleh Mahapatih Gajah Mada. Setelah kejadian itu, majapahit kemudian menyerang bali dan akhirnya Bali Dwipa dengan Raja Bedahulu dapat dikalahkan dan Bali berada pada kekuasaan Majapahit.
Setelah masuknya Kerajaan Majapahit ke Bali, Kerajaan Majapahit kemudian berusaha untuk menyesuaikan segala hal aspek kehidupan masyarakat Bali agar dapat diperintah dengan mudah oleh Majapahit. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Penunjukan Sri Kresna Kepakisan oleh Majapahit sebagai Raja Di Bali, tiada lain tujuannya agar mempermudah pemerintahan yang dilakukan oleh Majapahit sendiri. Untuk itulah Sri Kresna Kepakisan, berusaha menerapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh majapahit di Bali. Adapun kebijakan yang pernah diambil oleh Sri Kresna Kepakisan adalah mengubah status Pura Babaturan Pangangasih sebagai parahyangan Mpu Ghana menjadi pura kerajaan dan diberi nama Pura Dasar Buwana Gelgel. Namun karena sebagian besar kebijakan Sri Kresna Kepakisan untuk mengalirkan Agama Hindu Majapahit yang dalam prakteknya menyinggung keyakinan masyarakat Bali Aga maka Bali Aga melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Pasek Gelgel dari Tampuryang. Majapahit mengetahui hal ini dan berusaha untuk meredam pemberontakan tersebut agar tidak terjadi kekacauan di Masyarakat Bali. Untuk itu Majapahit mengundang Ki Pasek Gelgel untuk berunding dan akhir disepakati bahwa Bali Aga bebas untuk melakukan keyakinannya.
Ketika Kerajaan Majapahit mengalami kehancuran dan masuknya agama islam ke Nusantara. Maka sebagian besar masyarakat hindu menghindar dan bertahan di pegunungan. Ada juga yang melarikan diri ke Bali. Melihat hal ini, seorang Pinandhita yang dikenal dengan nama Dang hyang Nirarta pergi ke Bali untuk mempertebal keyakinan orang Bali akan Hindu dan tentunya hal ini mengubah cara pandang masyarakat Bali tentang keagamaan. Oleh karena itu, Dang Hyang Niratha juga disebut Pedanda Sakti Wawu Rauh yang berarti pendeta sakti yang baru datang, disamping itu beliau juga disebut Sang Hyang Dwijendra. Salah satu warisan Dang Hyang Nirartha adalah Padmasana sebagai tempat pemujaan Siwa Raditya. Sebagai penghormatan kepada beliau, setiap Pura yang didirikan oleh Dang Hyang Nirartha disebut dengan Pura Dang Kahyangan. Namun perjalanan Dang Hyang Nirartha yang di mulai dari Tanah Lot sampai Uluwatu sebagian besar dilakukan di pesisir sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap keagamaan masyarakat Bali Aga.
Hindu Bali Dengan Hindu Menurut Bali Aga Di Desa Sukawana
Telah diketahui bahwa Hindu Bali mempunyai sejarah dan perkembangan yang sangat panjang. Masyarakat Bali Aga yang terdapat di desa Sukawana adalah masyarakat yang leluhurnya dulu memberontak terhadap hindu yang diterapkan oleh majapahit. Sehingga dalam sektor keagamaan ,masyarakat Bali Aga di Desa Sukawana mempunyai tata cara dan prosesi yang berbeda dengan Hindu yang terdapat di Bali Pada umumnya. Oleh karena itu, masyarakat Bali Aga yang ada di Desa Sukawana sendiri adalah masyarakat yang selalu menjaga tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya.
Penerapan dan prilaku keagamaan di Desa Sukawana berbeda dengan hindu Bali pada umumnya. Adapun beberapa perbedaan tersebut antara lain: